Senin, 13 September 2010

sex remaja


PENYIMPANGAN SEKS PADA REMAJA


Masa remaja merupakan suatu masa yang menjadi bagian dari kehidupan manusia yang di dalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan diri remaja itu sendiri. Masa remaja dapat dicirikan dengan banyaknya rasa ingin tahu pada diri seseorang dalam berbagai hal, tidak terkecuali bidang seks.
Salah satu masalah yang sering timbul pada remaja terkait dengan masa awal kematangan organ reproduksi pada remaja adalah masalah kehamilan yang terjadi pada remaja diluar pernikahan. Apalagi apabila Kehamilan tersebut terjadi pada usia sekolah. Siswi yang mengalami kehamilan biasanya mendapatkan respon dari dua pihak. Pertama yaitu dari pihak sekolah, biasanya jika terjadi kehamilan pada siswi, maka yang sampai saat ini terjadi adalah sekolah meresponya dengan sangat buruk dan berujung dengan dikeluarkannya siswi tersebut dari sekolah. Kedua yaitu dari lingkungan di mana siswi tersebut tinggal, lingkungan akan cenderung mencemooh dan mengucilkan siswi tersebut. Hal tersebut terjadi jika karena masih kuatnya nilai norma kehidupan masyarakat kita.

Selain masalah kehamilan pada remaja masalah yang juga sangat menggelisahkan berbagai kalangan dan juga banyak terjadi pada masa remaja adalah banyaknya remaja yang mengidap HIV/AIDS Data dan Fakta HIV/AIDS
Dilihat dari jumlah pengidap dan peningkatan jumlahnya dari waktu ke waktu, maka dewasa ini HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) sudah dapat dianggap sebagai ancaman hidup bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan sampai Juni 2003 jumlah pengidap HIV/AIDS atau ODHA (Orang Yang Hidup Dengan HIV/AIDS) di Indonesia adalah 3.647 orang terdiri dari pengidap HIV 2.559 dan penderita AIDS 1.088 orang. Dari jumlah tersebut, kelompok usia 15 ­19 berjumlah 151 orang (4,14%); 19-24 berjumlah 930 orang (25,50%). Ini berarti bahwa jumlah terbanyak penderita HIV/AIDS adalah remaja dan orang muda.
           
Pendidikan Seks Untuk Remaja


LATAR BELAKANG


Semakin hari tanggung jawab dan tugas pendidikan orangtua terhadap anak terasa semakin besar. Hal ini dapat terjadi karena di satu sisi, perkembangan dunia khususnya tentang informasi sangatlah luar biasa. Sedangkan di sisi lain, bekal orangtua untuk mendidik anak sangatlah minim. Ledakan arus informasi dapat dilihat dari adanya berbagai siaran TV dari dalam maupun luar negeri yang hampir setiap saat dapat ditonton. Akibatnya, pengetahuan anak sering melampaui orangtuanya. Perkembangan iptek, misalnya, anak dengan gampang dapat menyebutkan dan menanyakan arti istilah “kloning” yang mungkin jarang didengar orangtuanya, apalagi diketahui artinya. Demikian pula dengan adegan ciuman mesra sampai dengan adegan ranjang akan sering terlihat anak di TV. Lebih-lebih lagi bagi remaja yang mempunyai kesempatan memiliki seperangkat komputer yang dapat dihubungkan dengan dunia melalui internet, maka tampilan yang lebih “hot” 
semakin gampang diperoleh dengan bebas dan cepat.
Sesungguhnya, sebagai bekal mendidik anak, Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 188 menyebutkan beberapa tugas orangtua terhadap anak-anaknya antara lain adalah menganjurkan anak berbuat baik, mencegah anak melakukan kejahatan dan memberi kesempatan anak memperoleh pendidikan. Pendidikan yang dimaksud bukan hanya pendidikan melalui sekolah saja, melainkan juga pendidikan mental kemoralan. Diharapkan dengan mendapatkan pendidikan yang layak anak mampu membedakan antara perbuatan baik dan jahat. Pengertian perbuatan baik maupun jahat bukan saja menyangkut perbuatan sehari-hari yang kita kenal, seperti halnya berdana – mencuri; menolong – membunuh mahluk hidup, bermeditasi – mabuk-mabukan dan sebagainya. Tetapi, termasuk juga menjaga kesusilaan. Secara lebih khusus lagi, memberikan pendidikan agar seseorang - dalam hal ini - remaja, mampu mempergunakan organ seksual dengan benar. Hal ini jelas sekali apabila kita ingat sila ketiga dari Pancasila Buddhis yaitu tekad untuk melatih diri menghindari perjinahan. Dengan kata lain, perjinahan adalah penyalahgunaan organ seksual.

      Anak-anak sejak usia dini hendaknya mulai dikenalkan dengan pendidikan seksual yang sesuai dengan tahap perkembangan kedewasaan mereka. Memang, kadang orangtua agak sulit dan canggung untuk memulai bersikap terbuka dengan anak-anak khususnya berbicara tentang pendidikan seksual. Padahal, dengan sikap keliru tersebut, anak justru akan berusaha mencari sendiri pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan seksual dari berbagai sumber yang mungkin kurang layak. Akibatnya, pengetahuan yang diperolehnya pun akan setengah-setengah bahkan mungkin keliru sama sekali. Lebih gawat lagi, akhirnya anak ingin mencoba pengetahuan yang serba tanggung itu. Tentu sebagai hasil akhirnya, kembali orangtua yang akan pusing tujuh keliling mengambil sikap menentukan langkah apabila anak lelakinya terbukti menghamili teman sekolahnya; atau sebaliknya, mungkin anak wanita yang masih belum lulus SMU harus berhenti sekolah karena mengandung. Sungguh hal yang memusingkan.
Untuk menghindari hal itulah maka makalah ini disusun. Diharapkan setelah membaca makalah ini orangtua akan memiliki sedikit pedoman untuk memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya. Memang, keterangan dalam makalah ini tidak diberikan secara rinci karena dalam pelaksanaannya nanti hendaknya disesuaikan dengan situasi setiap keluarga. Perlu diingat di sini bahwa dalam memberikan pendidikan seksual, memang kita tidak dapat menghindari penggunaan istilah yang untuk sebagian orang dianggap jorok. Tetapi hal itu wajar, seperti yang pernah dikatakan oleh George Bernard Shaw: ”Kita tidak diajari untuk berpikir terhormat tentang seks. Akibatnya, kita tidak mempunyai bahasa untuk seks, kecuali yang tidak terhormat”


PEMBAHASAN


Pendidikan seks adalah upaya memberikan pengetahuan tentang perubahan biologis, psikologis dan psikososial sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan manusia. Dengan kata lain, pendidikan seks pada dasarnya merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral, etika, serta komitmen agama agar tidak terjadi “penyalahgunaan” organ reproduksi tersebut. Dengan demikian, pendidikan seks ini bisa disebut juga pendidikan kehidupan berkeluarga.
Tujuan pendidikan seksual
1.      Keterangan yang disampaikan adalah untuk menerangi bukan untuk merangsang
2.      Memberi pengertian tentang konsekuensi dari setiap prilaku seksual
3.      Membantu pengambilan keputusan yang matang dalam masalah seksual yang muncul.
Dari tujuan pendidikan seks di atas, dapatlah disusun beberapa topik yang perlu diberikan kepada remaja, yaitu:
1.      Mengenal beda dan fungsi organ seksual pria maupun wanita
2.      Mengenal resiko penyalahgunaan organ seksual tersebut
3.      Memberikan bekal keagamaan sebagai pedoman pergaulan

1. MENGENALKAN FUNGSI DAN BEDA ORGAN SEKS

 
       Dalam memperkenalkan perbedaan dan fungsi organ seksual pria maupun wanita, orangtua pada tahap pertama dapat menggunakan binatang sebagai alat bantu. Ajaklah anak mengamati perbedaan jenis kelamin antara kucing jantan dengan betina, misalnya. Tunjukkanlah perbedaan yang menonjol di antara kedua jenis kelamin. Kemudian, tunjukkan pula kegiatan seksual mereka. Hal ini dapat diperoleh dari gambar, film TV, atau mungkin kita mengajak anak-anak ke kebun binatang.

Apabila anak mulai mengerti perbedaan kelamin yang ada di sekitarnya, mulai kenalkanlah dengan perbedaan yang ada pada manusia. Dalam tahap ini, peranan orangtua sungguh-sungguh amat penting sebab ayah dan ibu sebenarnya mewakili jenis pria dan wanita. Ayah hendaknya mulai menerangkan setahap demi setahap kepada anak lelakinya tentang perkembangan organ seks yang telah dialaminya. Demikian pula hendaknya seorang ibu menerangkan perkembangan dirinya kepada anak wanitanya. Dalam usaha menerangkan ini, orangtua hendaknya mempunyai sedikit bahan bacaan agar keterangan yang diberikan dapat jelas dan terarah. Pembicaraan terbuka dan penuh persahabatan akan sangat membantu membangun suasana positif dalam memberikan pendidikan seks yang masih cukup sensitif dalam masyarakat kita. Jangan timbulkan suasana penuh ketegangan pada anak, santai saja. Ajaklah mereka berdialog. Dengarkanlah juga pengalaman maupun informasi tentang seks yang mereka dapatkan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Apabila informasi yang mereka dengar itu benar, katakanlah benar demikian pula apabila salah, arahkanlah mereka agar tidak tersesat.


2. MENGENALKAN RESIKO PENYALAHGUNAAN ORGAN SEKS

Setelah anak memahami perbedaan fisik antara pria dan wanita, kini orangtua hendaknya secara bijaksana mulai menunjukkan fungsi organ seks tersebut. Organ seks meliputi organ yang ada di luar tubuh, misalnya alat kelamin dan payudara; dan juga yang ada di dalam tubuh, misalnya rahim. Fungsi organ seks sesungguhnya selain digunakan untuk menjalankan berbagai macam aktifitas seksual juga untuk mengandung dan melahirkan. Dalam melaksanakan aktifitas seksual, salah satunya adalah melakukan hubungan seks. Hubungan seks hanya boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang sudah terikat dalam perkawinan. Sebab, sesungguhnya hubungan seks bertujuan untuk:
1.      reproduksi (memiliki keturunan)
2.      Memperkuat hubungan batin pasangan dan meningkatkan intimitas
3.      Memberikan kenikmatan
4.      Meningkatkan harga diri
5.      Mengendorkan ketegangan
Jelaslah di sini bahwa hubungan seks sebagai sarana coba-coba dan hiburan di antara teman, pacar maupun sembarang lawan jenis adalah keliru! Pengertian ini pantas diingat karena dimasa kini, sering dijumpai remaja dalam masa pacaran telah berani melakukan hubungan seks. Akan tetapi, anehnya masyarakat sekitar sering juga dapat menerima hal semacam ini. Padahal, beberapa waktu yang lalu, apabila terdapat orang yang sedang pacaran ketahuan melakukan hubungan seks maka kejadian itu akan menjadi aib yang sangat memalukan bagi si pelaku maupun keluarganya. Inikah yang disebut kemajuan jaman? Apakah hal ini menunjukkan bahwa tata nilai masyarakat tentang seks sudah mulai berubah? Sesungguhnya, konsep masyarakat tentang seks akan selalu berubah karena memang tidak ada dasar pengambilan pandangan yang jelas, tidak ada kaitan baku yang hakiki. Hal yang dahulu dianggap penyimpangan, sekarang menjadi biasa, homoseksual, penggunaan alat kontrasepsi, misalnya.
Selain itu, penyebab kegiatan seksual pra nikah semakin banyak adalah karena:
1.      Makin mundurnya rata-rata usia kawin sehingga desakan seks semakin berlanjut
2.      Peralatan KB yang mudah didapat
3.      Paling penting, pergeseran konsep cinta dari self-sacrifice (pengorbanan diri) menjadi self-service (melayani dan memuaskan diri sendiri).
4.      Masyarakat makin permissive (mengijinkan) terhadap perilaku ini karena mereka pun kebanyakan sudah masuk dalam kelompok self service tersebut.
Hasil penelitian oleh Liu Dalin dari Pusat Penelitian Sosiologi Seks, Shanghai mengungkapkan bahwa 86 % masyarakat kota dapat menerima seks pra nikah walaupun mayoritas responden masih menganggap keperawanan adalah milik wanita yang paling berharga untuk dibawa ke perkawinan.
5.      Tekanan dari sesama teman atau pasangannya sendiri:
“Kalau engkau cinta betul padaku, buktikanlah.”
“Jangan ketinggalan jaman, jadi manusia purba.”
6.      Kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kekaburan remaja akan cinta dan seks.
“Saya melakukannya sebab ingin ia mencintai saya.”
“Saya melakukannya sebab saya mencintainya.”
7.      Remaja dewasa ini cenderung memberontak terhadap aturan-aturan orangtua, termasuk seks sebagai buah terlarang
8.      Rasa ingin tahu dan penasaran akibat pemberitaan yang merangsang atau yang dibesar-besarkan di media massa, internet dlsb. Dalam suasana penasaran akan misteri seks, para remaja pun melakukan ‘riset’ nya sendiri-sendiri.
Meskipun dewasa ini kegiatan seksual pranikah hampir menjadi hal yang wajar, bukan berarti perbuatan ini diperbolehkan dan aman dilakukan, apalagi oleh para remaja. Ada beberapa konsekuensi logis yang mungkin diperoleh si pelaku. Konsekuensi pertama yaitu adanya perubahan yang dirasakan si pelaku pada dirinya sendiri. Perubahan ini meliputi perubahan secara fisik maupun mental. Secara fisik, si pelaku mungkin dapat terkena beberapa jenis penyakit yang berhubungan dengan kegiatan seksual. Bahkan ada kemungkinan kejangkitan penyakit AIDS yang hingga saat ini masih belum dapat diketemukan obat penyembuhnya. Atau, untuk remaja putri, resiko kehamilan sering harus ditanggung sendiri karena ditinggal si pacar setelah mengetahui kehamilannya. Sedangkan secara mental, si pelaku akan sering dibayangi dengan rasa bersalah, malu dan juga rendah diri karena merasa dirinya telah ternoda. Perasaan ini akan muncul dalam diri seseorang yang memang memiliki sedikit kemoralan. Bila tidak memiliki kemoralan sama sekali, mungkin mereka malah bangga dengan “prestasi” penyakit kelamin yang dimilikinya ataupun kehamilan semasa usia remaja ini. Sedangkan untuk mereka yang bermoral, jelas perbuatan yang melanggar sila ke tiga dalam Pancasila Buddhis ini tidak akan ada di dalam kamus kehidupannya. 
Selain berpengaruh untuk si pelaku, hubungan seksual pra nikah juga dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan tempat si pelaku berada. Lingkungan pertama adalah orangtua dan keluarga. Mereka, paling tidak, akan malu mempunyai anak yang dipandang kurang bermoral tersebut. Lingkungan yang lain adalah para teman yang mungkin akan mencemoohnya dan bahkan, mengucilkannya.

3. MEMBERIKAN BEKAL KEAGAMAAN

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa perjinahan adalah merupakan penyalahgunaan organ seks. Adapun syarat suatu perbuatan disebut sebagai pelanggaran kesusilaan adalah: 




1.      Orang yang tidak pantas dikunjungi / obyek perjinahan
2.      Niat melakukan hubungan seksual dengannya
3.      Usaha melakukan hubungan seks
4.      Terjadi hubungan seks



KESIMPULAN

 
Perkembangan teknologi jelas tidak akan pernah dapat dibendung oleh siapapun juga. Orangtua sebaiknya selain mengawasi perkembangan anak-anaknya, hendaknya juga dapat memberikan pendidikan sebagai pedoman yang jelas agar mereka memiliki kemantapan dalam menapaki kehidupan ini. Pendidikan seks perlu diberikan kepada para remaja sejak usia dini agar mereka dapat mengerti manfaat dan akibat dari penyalahgunaan organ seks mereka. Namun dari semua nasehat, remaja hendaknya diberi bekal moral agar dapat mandiri menghadapi dampak negatif gelombang pergaulan. Hal ini disebabkan kerena orangtua jelas tidak mampu mengawasi anaknya setiap saat. Anak suatu ketika harus dibiarkan mandiri. Bekal moral itu berupa petunjuk Sang Buddha yang terdapat dalam Anguttara Nikaya I, 51:

Hiri : Rasa malu berbuat jahat
Ottappa : Rasa takut akibat perbuatan jahat
Dengan tumbuhnya rasa malu dan takut melakukan perbuatan yang salah, anak akan selalu berusaha menghindari perbuatan keliru di mana pun ia berada. Pancasila Buddhis akan dapat dilaksanakan dengan baik di depan orangtua maupun apabila anak jauh dari orangtua. Sesungguhnya Sang Buddha telah bersabda dalam Khuddaka Nikaya, Jataka, 1048 bahwa tanpa pegetahuan dan tanpa belajar peraturan Vinaya, manusia niscaya akan menempuh kehidupan seperti kerbau buta di tengah rimba.




Ringkasan


Isu-Isu Utama


• Mayoritas perempuan muda di sebagian besar wilayah dunia, mulai aktif secara seksual pada umur belasan tahun. Proporsi kasarnya, di negara-negara Amerika Latin dan Karibia sekitar sentengah sampai dua pertiga, di negara-negara maju mencapai tiga perempat atau bahkan lebih, dan di berbagai negara Afrika Sub-Sahara lebih dari 9 dalam 10.

• Pada sebagian masyarakat, perempuan melakukan hubungan seks pada masa remaja karena mereka diharapkan menikah dan melahirkan anak pada usia muda. Pada masyarakat lainya, pernikahan biasanya dilangsungkan pada usia sedikit lebih tua, tetapi seks pra-nikah sudah biasa. Sebagian masyarakat dapat dipastikan sedang berada dalam masa transisi dari norma sosial yang satu ke yang lain.

• Terlepas dari norma yang mempengaruhi para perempuan muda usia, hubungan seksual yang dimulai pada usia belasan tahun mengandung risiko-risiko tertentu. Contohnya, para perempuan yang menikah pada usia muda sering tidak bisa banyak berbicara dalam pengambilan keputusan mengenai kesuburan dan kesempatan yang terbatas untuk mengenyam pendidikan atau ketrampilan kerja. Para permpuan yang hamil di luar nikah mungkin harus memutuskan apakah akan menggugurkan kandungannya atau tetap mengasuh anaknya di luar perkawinan. Perempuan, baik yang menikah maupun tidak, sangat rentan terhadap penyakit menular seksual serta perempuan yang sering melahirkan atau melahirkan pada usia muda berisiko melemah kesehatannya.
Para remaja dewasa ini, generasi terbesar dalam usia 10-19 tahun di dalam sejarah, beranjak dewasa di dunia yang sangat berbeda daripada dunia di waktu para orang tua mereka beranjak dewasa. Meskipun laju perubahan berbeda di antara dan di dalam wilayah dunia, masyarakat berada di dalam keadaan kesempatan baru yang membingungkan bagi para pemuda.
Perbaikan di bidang transportasi dan komunikasi membuka kesempatan bagi para pemuda, bahkan yang tinggal di daerah-daerah terpencil mengenal orang-orang dengan tradisi dan nilai-nilai kehidupan yang berbeda, walaupun dunia semakin urban dan industrialisasi menawarkan godaan kemajuan dan kesempatan. Tetapi, tanpa pendidikan dan latihan yang memadai, para remaja tidak akan mampu memenuhi tuntutan lingkungan pekerjaan moderen, dan tanpa bimbingan orang tua, masyarakat serta para pemimpin pemerintahan, para remaja mungkin tidak siap untuk menilai hasil dari keputusan yang diambil mereka.
Kendati demikian, di dunia berkembang, dimana kemiskinan luas dan berkepanjangan, sejumlah keluarga mungkin terpaksa menggagalkan pendidikan anak-anak kalau tenaga mereka dibutuhkan untuk membantu rumah tangga. Di sebagian besar negara, 70-100% anak-anak mendaftar di sekolah dasar, tetapi lamanya waktu yang digunakan untuk belajar di sekolah berbeda sekali. Umpamanya, sementara 80% perempuan muda di beberapa negara berkembang memperoleh pendidikan dasar, sekurangnya tujuh tahun masa belajar, tetapi di banyak daerah Afrika Sub-Sahara hanya 25% atau kurang dari itu yang memperoleh pendidikan serupa.
Pemerintah-pemerintah bertujuan untuk menyediakan pendidikan dasar yang dapat diperoleh secara luas. Oleh sebab itu, perempuan muda di hampir semua negara boleh dikatakan lebih mungkin memperoleh pendidikan dasar daripada yang dulu didapatkan oleh ibu mereka, dan di dunia berkembang perbedaanya bisa sangat besar. Misalnya, di Sudan, 46% remaja berumur 15-19 tahun sudah menempuh tujuh tahun atau lebih masa sekolah, dibandingkan dengan 5% dari para wanita berumur 40-44 tahun. Begitupun, disparitas, terutama di segi sosio-ekonomi dan di lingkungan kehidupan, masih bertahan. Di sebagian negara berkembang, kemungkinan perempuan muda kota untuk memperoleh pendidikan dasar adalah 2-3 kali lipat dibanding dengan perempuan-perempuan yang berada di pedalaman.
Aktivitas seksual menimbulkan berbagai risiko kesehatan
Melahirkan – terutama kelahiran bayi pertama – mengandung risiko kesehatan bagi semua wanita. Bagi seorang wanita yang kurang dari usia 17 tahun, yang belum mencapai kematangan fisik, risikonya semakin tinggi. Remaja usia muda, terutama mereka yang belum berusia 15 tahun lebih besar kemungkinanya mengalami kelahiran secara prematur (premature labor), keguguran dan kematian bayi atau jabang bayi dalam kandungan, dan kemungkinannya meninggal akibat kehamilan, empat kali lipat daripada wanita yang lebih tua berusia 20 tahun keatas. Lagipula, bayi mereka lebih besar kemungkinanya lahir dengan berat yang kurang normal dan meninggal sebelum usia satu tahun daripada bayi-bayi yang dilahirkan oleh para wanita dewasa.
Di seluruh dunia sejumlah remaja yang hamil tidak mendapat perawatan pra-natal: di Bangladesh, Bolivia, dan Mesir proporsinya lebih dari setengah. Bahkan di kalangan populasi yang kayapun banyak remaja tidak mendapat perawatan atau mengusahakan perawatan ketika mereka sudah hamil tua.
Ancaman lain terhadap kesehatan reproduksi wanita muda, ialah ketika mengambil keputusan untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan di lingkungan di mana pengguguran tidak dibenarkan oleh hukum atau sukar diperoleh. Dalam situasi seperti ini para remaja mungkin akan mencari orang yang dapat melaksanakan pengguguran gelap; sering orang-orang yang melaksanakan pengguguran ini tidak ahli dan bekerja di bawah kondisi yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.
Di beberapa negara Afrika Sub-Sahara sekitar sepertiga dan seperempat remaja menderita akibat komplikasi yang berhubungan dengan pengguguran; di Kenya dan Nigeria jumlah yang menderita komplikasi parah akibat pengguguran lebih dari setengahnya. Bahkan di daerah dimana pengguguran diizinkan para wanita muda mungkin akan menghadapi risiko komplikasi jika mereka menunda-nunda pelaksanaanya karena sebagian dari mereka tidak mengetahui atau menyangkal tanda-tanda kehamilan awal, atau mereka tidak punya dana untuk pembayaran pengguguran.
Infeksi pada sistem reproduksi juga berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kesuburan seorang wanita. Infeksi-infeksi seperti itu terjadi ketika para wanita melahirkan atau melakukan pengguguran di bawah kondisi yang tidak steril, dan ada juga ketularan akibat hubungan seks dengan partner yang menderita infeksi. Setiap tahun cukup besar proporsi wanita dan pria usia 15-49 ketularan PMS – di negara-negara maju dan beberapa negara berkembang kurang dari 10%, tetapi di bagian terbesar negara berkembang berkisar dari 11 sampai 25%. Para wanita muda khususnya mudah terkena PMS karena mereka kurang memiliki perlindungan antibodi daripada para wanita yang lebih tua, dan ketidak matangan leher rahim mereka mempertinggi kemungkinan terkena bakteri infeksi yang mengakibatkan penularan penyakit tersebut.
Dalam masyarakat-masyarakat di mana wanita tidak berhak untuk membuat keputusan mengenai kehidupan mereka, seorang remaja yang takut terkena infeksi dari partnernya mungkin tidak dapat menolak keinginan partnernya untuk melakukan hubungan seks atau bersikeras agar partnernya menggunakan kondom. Sementara para wanita yang tidak menikah mengandung risiko yang lebih besar terkena PMS, bahkan wanita-wanita yang sudah menikah mungkin terancam risiko, jika suami-suami mereka mempunyai banyak hubungan seksual sebelum kawin atau terus melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu partner.
Gejala awal bagi wanita yang terkena PMS sering tidak diketahui; akibatnya para wanita mungkin tidak menyadari bahwa mereka terkena infeksi jadi tidak berusaha untuk berobat. PMS yang tidak diobati bisa menimbulkan akibat berat terhadap kesehatan termasuk merusak kesuburan, sakit tulang pinggul kronis, kanker mulut rahim, dan berakibat buruk terhadap anak-anak yang dilahirkan oleh wanita yang terkena infeksi sewaktu hamil.
Lagi pula, setengah dari mereka yang menderita infeksi HIV adalah mereka yang berusia kurang dari 25 tahun. Di beberapa negara Sub-Sahara banyak remaja yang hamil menderita HIV positif – misalnya, 20-27% di beberapa daerah Botswana, Nigeria dan Rwanda.
Kebiasan-kebiasan kebudayaan tertentu ada hubunganya dengan risiko reproduksi kesehatan di kalangan para remaja. Di sejumlah masyarakat, banyak gadis yang di-mutilasi. Komplikasi bisa terjadi akibat pemotongan itu sendiri, dan akibat seumur hidup termasuk sakit kronis sewaktu melakukan hubungan seks, kambuhnya infeksi tulang pinggul, dan sulit ketika melahirkan. Di banyak negara Asia, Amerika Latin dan Karibia para pemuda umumnya mendapat pengalaman seks pertama dengan pelacur.
Akhirnya, para pemuda di seluruh dunia mengalami penyalahgunaan seksual, hubungan seks antar keluarga (incest) dan perkosaan. Di banyak daerah orang-orang muda – terutama mereka yang miskin atau tunawisma dan yang tidak punya ketrampilan untuk bersaing memperoleh pekerjaan yang memerlukan kecakapan – menjadi korban eksploitasi seksual guna memperoleh keuntungan komersial.
Wanita muda memerlukan uluran tangan
Para remaja dewasa ini adalah para pemimpin, para pekerja dan para orang tua di masa mendatang. Untuk mengisi peranan ini sebaik-baiknya, mereka memerlukan bimbingan dan dukungan dari keluarga dan masyarakat termasuk perhatian pemerintah yang merasa berkewajiban terhadap perkembangan mereka. Sementara modernisasi ekonomi, urbanisasi dan komunikasi massa merubah prospek dan perilaku para remaja, penyesuaian terhadap cara-cara baru ini kemungkinan kurang menyenangkan dan terkadang sulit. Namun penyesuaian tidak dapat dielakkan.
Sebagian besar negara mengakui pentingnya nilai pendidikan bagi para wanita muda. Wanita-wanita muda bahkan yang hanya memiliki pendidikan dasar sajapun, menunda perkawinan dan melahirkan anak dengan waktu kira-kira satu setengah tahun dibandingkan dengan mereka yang tidak bersekolah; mereka yang memiliki pendidikan menengah pertama menundanya lebih lama lagi. Pendidikan juga memperbaiki kesehatan anak dan keluarga si wanita, dan mempermudahnya untuk mempergunakan jasa-jasa dan informasi. Oleh sebab itu pemerintah-pemerintah dan lembaga-lembaga sosial lainnya harus menjajaki cara baru yang memungkinkan para keluarga untuk menyekolahkan anak-anak perempuan dan mendorong para wanita muda untuk tetap bersekolah dan menyelesaikan pendidikan dasar mereka.
Tidak banyak negara maju dan negara berkembang yang memberikan perhatian yang memadai bagi keperluan kesehatan reproduksi khusus bagi para wanita remaja – dalam banyak hal karena kurangnya sumber, dan dalam hal lainya karena khawatir akan menimbulkan kontroversi. Besarnya keperluan kesehatan reproduksi bersifat perorangan dan tergantung pada usia dan keadaan seorang wanita (Tabel 3). Karena pola perilaku seksual dan perkawinan berbeda di antara wilayah-wilayah dunia (Tabel 4) atau di antara kelompok-kelompok kebudayaan, maka proporsi wanita muda dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu juga berbeda. Begitupun, perlunya memperoleh pendidikan dan informasi akurat adalah universal baik bagi gadis kecil, wanita muda, anak laki-laki, para pemuda yang akan menjadi partner seksual, dan suami.

Pendidikan Seks: Sejak Kapan?

Kamis, 05 Agustus 2010 23:24
CetakPDF

Seks, sebuah kata – suka atau tidak suka – yang masih tidak jamak dibicarakan dalam sebagian besar keluarga di Indonesia. Mereka beranggapan bahwa pembicaraan mengenai seks merupakan sesuatu yang tabu dan terlarang. Bahkan sebagian orang akan memandang seseorang dengan negatif, apabila ia mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan seks.

Anggapan itu memiliki kebenaran sampai batas tertentu, karena saat ini semakin banyak kejahatan dan penyimpangan yang terjadi akibat penyalahgunaan fungsi seks; mulai dari pelacuran anak, pemerkosaan, perselingkuhan, pernikahan usia dini, perilaku seks menyimpang, dan seks bebas. Kondisi ini semakin runyam ketika pornografi pun menemukan tempatnya yang paling ideal di tengah masyarakat. Perkembangan teknologi dan informasi mempermudah setiap orang untuk mengakses situs-situs porno di internet dan melakukan transfer film-film porno pada setiap pengguna telepon genggam.

Pada sisi lain, seks merupakan sesuatu yang indah, yaitu pada saat orang memaknai seks sebagai suatu karunia. Melalui pemahaman itu, manusia dapat memandang seks sebagai sesuatu yang bersifat sakral. Beberapa agama dan kebudayaan meyakini seks bersifat transendental, seperti halnya kelahiran dan kematian. Betapa pentingnya cara pandang ini terlihat pada proses inisiasi yang diselenggarakan bagi penganutnya yang telah mencapai usia akil baligh – saat organ dan hormon seksual setiap orang telah berkembang secara biologis. Pada tahap ini, hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan mampu menghasilkan manusia-manusia baru yang akan meneruskan kehidupan.

Perbedaan pandangan yang berseberangan tersebut dapat dijembatani melalui pendidikan seks (sex education), sehingga selain dapat menghilangkan persepsi yang salah terhadap (hubungan) seks, kegiatan ini dapat menanamkan penghargaan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam seks. Apa dan bagaimanakah pendidikan seks itu? Surtiretna (2000) mendefinisikan pendidikan seks sebagai upaya memberikan pendidikan dan pengetahuan tentang perubahan biologis, psikologis, dan psikososial sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan manusia. Dengan kata lain, pendidikan seks pada dasarnya merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dan menanamkan moral etika, serta komitmen agama supaya tidak terjadi penyalahgunaan organ reproduksi tersebut.

QuotationPendidikan seks sebaiknya dimulai sedini mungkin, ketika kemampuan kognitif anak mulai berkembang dan secara bertahap dilanjutkan sesuai dengan pertumbuhan sang anak.Quotation
Merry Wahyuningsih dalam detikHealth (2010) memaparkan, bahwa tujuan dari pendidikan seks disesuaikan dengan perkembangan usia, yaitu sebagai berikut: Usia balita (1-5 tahun); memperkenalkan organ seks yang dimiliki, seperti menjelaskan anggota tubuh lainnya, termasuk menjelaskan fungsi dan cara melindunginya. Usia sekolah (6-10 tahun); memahami perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), menginformasikan asal-usul manusia, dan membersihkan alat genital dengan benar agar terhindar dari kuman dan penyakit.

Kemudian, Usia menjelang remaja; menerangkan masa pubertas dan karakteristiknya, serta menerima perubahan dari bentuk tubuhnya. Usia remaja; memberi penjelasan mengenai perilaku seks yang merugikan – seperti seks bebas, menanamkan moral dan prinsip “Say No” untuk seks pranikah, dan membangun penerimaan terhadap diri sendiri. Usia pranikah; membekali pasangan yang ingin menikah mengenai hubungan seks yang sehat dan tepat. Usia setelah menikah; memelihara pernikahan melalui hubungan seks yang berkualitas dan berguna untuk melepaskan ketegangan dan stres.

Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian adalah cara penyampaian, sehingga pendidikan seks dapat diberikan secara baik dan benar. Pendidikan seks paling baik dilaksanakan di dalam keluarga, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk diadakan di sekolah atau di komunitas tempat anak bersosialisasi. Pembicaraan mengenai seks bersifat pribadi, sehingga orang tua perlu menciptakan suasana yang akrab dan terbuka.

Pendidikan seks sebaiknya dilakukan dengan pendekatan pribadi, berbeda untuk setiap anak karena tahap perkembangan dan pengetahuannya tidak sama. Penyampaian harus wajar dan sederhana, sehingga dapat menepis anggapan bahwa pembicaraan mengenai seks tabu. Seluruh informasi yang disampaikan harus objektif, sehingga dapat dengan mudah dimengerti oleh anak dan kesalahan persepsi tidak terjadi (tribunkaltim.co.id, 2007). Bermacam media dapat digunakan sebagai alat bantu penyampaian, seperti buku-buku, model 3D, program komputer, dan internet.

E-mail

Written by Redaksi Web   
Saturday, 07 August 2010 06:11
Para orang tua terkadang kelabakan ketika sang buah hati mulai mengulik-ngulik dan bertanya seputar seks. Pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya terdengar sepele namun bisa membuat hati orang tua dag dig dug untuk menjawabnya.

Anak Anda mungkin pernah bertanya "dari mana asal adik bayi?", "kenapa laki-laki kalau pipis berdiri sedangkan perempuan duduk?", "Kok dada Bunda besar?", "Kenapa  Ayah punya jenggot dan dadanya berbulu?" atau pertanyaan yang paling sering diajukan ketika anak mulai mengenal lingkungan sosialnya, "bunda, pacaran itu apa ya?"  Bagaimana Anda menyikapinya?

Psikolog, Sani B Hermawan Psi mencoba membantu Anda untuk mengatasi problema tersebut. Sani mengatakan pendidikan seks memang sebaiknya dikenalkan kepada anak sejak dini, jauh sebelum mereka bertanya tentang ini dan itu yang bisa membuat Anda semakin pusing untuk menjawabnya.

Setidaknya saat usia anak mencapai 2-3 tahun, ketika sudah bisa dilakukan komunikasi dua arah antara orang tua dan anak. Sani menegaskan pendidikan seks sebenarnya bukanlah mengajarkan anak tentang bagaimana perilaku seks itu sendiri. Tetapi, kembali pada definisi kata "seks" itu yang berarti "jenis kelamin". Kenalkanlah berbagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan kepada anak. Apa fungsi dari organ kelamin tersebut, bagaimana merawatnya, cara membersihkannya dan sebagainya.

Hal ini juga merupakan upaya pengajaran, penyadaran dan pemberian informasi tentang masalah seksual dengan menanamkan moral, etika, komitmen agama agar tidak terjadi penyalahgunaan. Juga merupakan cikal bakal pendidikan berkeluarga.

Dialog semacam ini bukannya tanpa hambatan, diantaranya budaya timur yang cenderung tabu membicarakan seks, ketidaktahuan untuk memulai dialog, rasa malu dan canggung. Selain itu, orang tua belum memahami manfaat yang diperoleh, bingung pada media atau materi yang akan diinformasikan, serta kekhawatiran anak semakin tertarik pada masalah seksual.

Hal yang perlu Anda ketahui, saat mengajarkan dan memberitahu anak tentang seks, lakukanlah sesuai dengan usia dan kebutuhan mereka. Anda sebagai orangtua jangan memberitahukan tentang seks secara blak-blakan, karena itu pastinya akan berbalik 180 derajat dari tujuan kita untuk memberikan pelajaran seks sejak dini kepada anak. Kalau Anda belum tahu juga bagaimana cara memberitahukan masalah seks ini kepada anak, cobalah untuk mengonsultasikannya kepada orangtua Anda atau kerabat dan rekan memiliki anak yang lebih besar dari Anda. Tapi harus dilihat, bagus tidak hal-hal yang diajarkan kerabat Anda itu kepada perilaku anaknya.
PEREMPUAN | GLOBAL

Meksi banyak orangtua moderen saat ini mulai memberikan pendidikan seks pada anaknya sejak dini agar si anak paham, tapi sebagian besar orangtua masih menganggap pendidikan seks adalah hal yang tabu.

Secara umum, pengertian pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran dan pemberian informasi tentang masalah seksual. Salah satu informasi yang diberikan adalah pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral, etika, komitmen agam agar tidak terjadi 'penyalahgunaan' organ seksual tersebut.

Dengan demikian, pendidikan seks dapat dikatakan sebagai cikal-bakal pendidikan kehidupan berkeluarga yang memiliki makna sangat penting.

Para ahli psikologi menganjurkan agar anak-anak sejak dini hendaknya mulai dikenalkan dengan pendidikan seks yang sesuai dengan tahap perkembangan kedewasaannya.

"Tapi karena tidak terbiasa dibicarakan, akhirnya pendidikan seks dianggap hal yang tabu," ujar Sani B Hirawan, MPsi dalam acara Smart Parents Conference di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (1/8/2010).

Menurut Sani, pendidikan seks seharusnya mulai dibicarakan sejak usia dini sampai dewasa, tapi sesuai dengan perkembangan usianya.

Tujuan dari pendidikan seks juga disesuaikan dengan perkembangan usia, yaitu sebagai berikut:

1. Usia balita (1-5 tahun)
Memperkenalkan organ seks yang dimiliki seperti menjelaskan anggota tubuh lainnya, termasuk menjelaskan fungsi serta cara melindunginya.

2. Usia sekolah (6-10 tahun)
Memahami perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), menginformasikan asal-usul manusia, membersihkan alat genital dengan benar agar terhindar dari kuman dan penyakit.

3. Usia menjelang remaja
Menerangkan masa pubertas dan karakteristiknya, serta menerima perubahan dari bentuk tubuhnya.

4. Usia remaja
Memberi penjelasan mengenai perilaku seks yang merugikan (seperti seks bebas), menanamkan moral dan prinsip 'say no' untuk seks pra nikah serta membangun penerimaan terhadap diri sendiri.

5. Usia pranikah
Pembekalan pada pasangan yang ingin menikah tentang hubungan seks yang sehat dan tepat.

6. Usia setelah menikah
Memelihara pernikahan melalui hubungan seks yang berkualitas dan berguna untuk melepaskan ketegangan dan stres.

Sayangnya, banyak orangtua yang belum memahami manfaat dan tujuan dari pendidikan seks. Ada yang menganggap bahwa pendidikan seks tidak diperlukan, sebab akan memancing anak ke arah negatif.

Jelas hal ini tidak benar. Sesungguhnya dialog seks perlu dibangun dalam keluarga. Namun diakui, terkadang orangtua sulit untuk terbuka dan memulai dialog mengenai materi seks pada anak, sehingga akhirnya pendidikan seks dianggap tabu.
(ir/
Merry Wahyuningsih/dtik.com)






Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun. Namun jika pada usia remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong usia dewasa. Sebaliknya, jika usia sudah bukan lagi remaja tetapi masih tergantung pada orang tua (tidak mandiri), maka dimasukkan ke dalam kelompok remaja.

Pendidikan seks diperlukan agar anak mengetahui fungsi organ seks, tanggungjawab yang ada padanya, halal haram berkaitan dengan organ seks dan panduan menghindari penyimpangan dalam prilaku seksual mereka sejak dini.

Memang masa remaja adalah masa yang sangat didominasi dengan masalah-masalah seks. Remaja juga akan sangat memperhatikan masalah-masalah seks. Banyak remaja yang mengkonsumsi bacaan-bacaan porno, melihat film-film blue dan semakin bertambah ketika mereka berhadapan dengan rangsangan seks seperti suara, pembicaraan, tulisan, foto, sentuhan, film. Bahkan semakin hari semakin bervariatif. Padahal apabila remaja sudah terjatuh dalam kegiatan seks yang haram, maka akibatnya sudah tidak bisa dibayangkan lagi:

1. Hilangnya harga diri bagi remaja laki dan hilangnya keperawanan bagi perempuan.
2. Perasaan berdosa yang mendalam, terkadang berakibat menjadi lemah dan semakin jauh dengan Allah SWT.
3. Perasaan takut hamil.
4. Lemahnya kepercayaan antara dua pihak.
5. Apabila hubungan ini diteruskan, akan menjadi hubungan yang gagal, terlebih bila dikembalikan dengan hukum syari’at.
6. Penghinaan masyarakat terhadap remaja laki-laki dan perempuan, juga kepada keluarganya.

Bagaimana solusinya? DR. Akram Ridho Mursi memberikan solusinya, sebagai berikut:

Pertama, dengan meminimalkan hal-hal yang merangsang, mengekang ledakan-ledakan nafsu dan menguasainya. Sebab, sesungguhnya tuntuntan untuk memenuhi hasrat biologis didorong oleh dua sebab:

* Ekstern, dengan jalan rangsangan. Pada awalnya memori seks dibentuk oleh stimulasi eksternal (bukan persepsi).
* Intern, dengan jalan berpikir dan bertindak.

Kedua, dengan menjaga diri (Isti’faaf). Hal ini merupakan bagian dari proses sebagai berikut:

1. Memahami diri. Dimana remaja putra dan putri memahami tentang jati dirinya. Menyadari akan tugas dan tanggungjawab hidup, mengerti hubungan dirinya dengan lingkungannya, (Al Hajj: 77)
2. Kualitas akhlak. Menyadari batas-batas nilai, tugas masyarakat. Kecil dan besar, komitmen dengan tanggung jawab bersama dalam masyarakat.
3. Kesadaran beragama. Perasaan taqwa dan muroqabah-Nya. Al Alaq: 14.
4. Perasaan damai di rumah. Terbangun dari keterbukaan, cinta kasih, saling memahami diantara sesama anggota keluarga.
5. Pengawasan yang cerdas dari orang tua.
6. Komitmen dengan aturan-aturan Allah SWT dalam berpakaian dan dalam bergaul dengan lawan jenis.
7. Menghindari pergaulan bebas dan mencegah berduaan tanpa mahram.

Apa yang bisa orangtua lakukan agar anak dan remaja tak sungkan berkomunikasi tentang seks ?

1. Ubah cara berpikir anda. Bahwa makna pendidikan seks itu sangat luas, tidak hanya berkisar masalah jenis kelamin dan hubungan seksual. Tapi di dalamnya ada perkembangan manusia (termasuk anatomi dan fisiologi organ tubuh, terutama organ reproduksi); hubungan antar manusia (antar keluarga, teman, pacar dan perkawinan); kemampuan personal (termasuk di dalamnya tentang nilai, komunikasi, negosisasi dan pengambilan keputusan); perilaku seksual; kesehatan seksual (meliputi kontrasepsi, pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, aborsi dan kekerasan seksual); serta budaya dan masyarakat (tentang jender, seksualitas dan agama).

2. Mengajarkan tentang pendidikan seks sejak dini. Seperti saat anda mulai mengajari “ini hidung”, atau “ini mulut”, maka pada saat itulah anda mengajarinya “ini penis” atau “ini vulva” . Jangan menggunakan istilah-istilah yang tidak tepat (misalnya “nenen” untuk mengganti kata payudara atau yang lainnya), karena dengan demikian tanpa sengaja kita telah membuat dikotomi, antara organ yang biasa dan organ yang “jorok” atau tabu atau negatif. Karena persepsi tentang bagian tubuh yang keliru akan berdampak negatif bagi anak di masa yang akan datang.

3. Manfaatkan ‘Golden Moments”, misalnya saat sedang menonton teve yang sedang menayangkan kasus perkosaan, saat sedang melakukan aktivitas berdua (masak, membereskan tempat tidur), dan lain-lain.

4. Dengarkan apa yang diucapkan anak dengan sungguh-sungguh, pahami pikiran dan perasaan mereka. Dengan demikian mereka akan merasa diterima, jika sudah merasa diterima, mereka akan membuka diri, percaya dan mudah diajak kerja sama.

5. Jangan menceramahi. Anak umumnya tidak suka diceramahi. Karena pada saat kita menceramahi seseorang, biasanya kita “menempatkan” diri kita lebih tinggi darinya. Bukan dengan cara ini kita bisa berkomunikasi dengan mereka.

6. Gunakan istilah yang tepat, sesuai dengan usianya. Misalnya saja kalau anak anda sudah beranjak remaja, maka gunakanlah bahasa gaul yang biasa digunakan remaja, sehingga anak tidak merasa sungkan menanggapi pembicaraan anda.

7. Gunakan pendekatan agama. Kita harus meyakini bahwa segala masalah dan persoalan di dunia ini harus diselesaikan dengan nilai-nilai agama. Karena nilai-nilai agama tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Anak-anak juga harus diajak mempraktekkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.

8. Mulai saat ini juga. Begitu anda membaca artikel ini, mulai susun strategi apa yang akan anda gunakan untuk mulai mengajak anak berbicara. Yang perlu diingat yaitu bahwa anak adalah orang tua di masa yang akan datang, maka dari itu harus kita persiapkan sedemikian rupa agar menjadi generasi yang siap menghadapi masa depan dengan segala rintangannya. Percayalah, bahwa anda merupakan orang yang paling tepat dalam hal ini, dengan mempercayai diri sendiri, anda pun telah memberikan kepercayaan pada anak..


I.       PENDAHULUAN

Latar Belakang



Masa remaja pada dasarnya merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 1975) masa remaja sebagai masa dimana peru-bahan fisik, mental, dan sosial ekonomi terjadi. Secara fisik diartikan sebagai terjadinya peru-bahan karakteristik jenis kelamin sekunder menu-ju kematangan seksual dan reproduksi. Proses perubahan mental dan identitas usia dewasa berkembang pada masa remaja, sedang-kan secara ekonomis masa remaja adalah masa transisi dari ketergantungan sosial ekonomi se-cara menyeluruh ketergantungan yang relatif lebih rendah.

Dalam Program Pembangunan Nasional (Prope-nas) tahun 2000-2004, kesehatan reproduksi re-
maja merupakan salah satu program pemerintah di dalam sektor pembangunan sosial budaya (Republik Indonesia, 2000). Tujuan program adalah untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku remaja dalam kesehatan reproduksi. Lima target utama kebijakan kesehatan repro-duksi remaja yang dimulai pada Tahun 2001 adalah sebagai berikut:
1.       Mengurangi jumlah penduduk yang menikah muda
2.       Meningkatkan pemahaman mengenai kesehatan reproduksi remaja
3.       Mengurangi angka kehamilan remaja
4.       Mengurangi angka kehamilan sebelum menikah
5.       Meningkatkan pengetahuan remaja mengenai penyakit menular seksual (PMS).

Akhir-akhir ini perilaku seksual dikalangan remaja menjadi popular, hal tersebut dapat dilihat dengan meningkatnya kejadian keha-milan sebelum menikah, perkawinan dini, melahirkan usia muda, aborsi, bahkan penyakit menular seksual. Kehamilan sebelum menikah dan induced aborsi tidak hanya berdampak negatif pada kesehatan remaja tetapi juga menjadi masalah sosial yang berkepanjangan. Diperolehnya infor-masi tentang faktor-faktor yang mempenga-ruhi sikap terhadap perilaku hubungan seksual di luar nikah di kalangan remaja.

Perilaku seksual sebelum menikah juga me-ningkat sejalan dengan modernisasi dan glo-balisasi sosial saat ini. Umur pertama kali mela-kukan hubungan seksual juga menurun, hal ini menjadi penyebab terjadi kehamilan sebelum menikah dan induced aborsi. Estimasi kejadian aborsi pada perempuan belum kawin berkisar antara 25-50 persen dari seluruh total kasus aborsi.

Tujuan Analisis
Tujuan Umum:
Tujuan umum analisis lanjutan ini untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi predictor sikap dan perilaku remaja melakukan hubungan seksual sebelum menikah.

Tujuan khusus:
·         Mengetahui hubungan antara faktor sosial demografi terhadap sikap mengenai hu-bungan seksual sebelum menikah;
·         Mengetahui hubungan antara pengetahuan kesehatan reproduksi remaja terhadap sikap mengenai hubungan seksual sebelum meni-kah;
·         Mengetahui hubungan antara faktor sosial ekonomi, dan pengetahuan kesehatan repro-duksi terhadap sikap remaja mengetahui pe-rilaku hubungan seksual sebelum menikah.

Manfaat Analisis
·   Menyajikan atau memberikan bahan ad-vokasi bagi para penentu kebijakan, terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mem-pengaruhi sikap dan perilaku hubungan seksual di luar nikah di kalangan remaja.
·   Dengan mempelajari faktor-faktor yang mem-pengaruhi perilaku seksual sebelum menikah akan bermanfaat bagi intervensi program untuk penanganan remaja. Untuk itu perlu adanya identifikasi sikap remaja terhadap perilaku seksual sebelum menikah dan meng-gali prediktor dari sikap tersebut.
·   Dengan melakukan analisis mendalam dari hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja tahun 2002-2003, akan diperoleh jawaban dari pertanyaan apakah remaja yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah, pengetahuan tentang kesehatan repro-duksinya sudah baik dibandingkan remaja yang pe-ngetahuan kesehatan reproduksinya masih rendah, atau sebaliknya

Pendidikan Seksual Pada Remaja



Sampai saat ini masalah seksualitas selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah menjadi suatu hal yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk hidup, karena dengan seks makhluk hidup dapat terus bertahan menjaga kelestarian keturunannya.
Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Padahal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri (Handbook of Adolecent psychology, 1980). Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila ia tidak memiliki pengetahuan dan informasi yang tepat. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja kita tidak mengetahui dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan, seringkali remaja sangat tidak matang untuk melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika harus menanggung resiko dari hubungan seksual tersebut.
Karena meningkatnya minat remaja pada masalah seksual dan sedang berada dalam potensi seksual yang aktif, maka remaja berusaha mencari berbagai informasi mengenai hal tersebut. Dari sumber informasi yang berhasil mereka dapatkan, pada umumnya hanya sedikit remaja yang mendapatkan seluk beluk seksual dari orang tuanya. Oleh karena itu remaja mencari atau mendapatkan dari berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya seperti di sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-teman, buku-buku tentang seks, media massa atau internet.
Memasuki Milenium baru ini sudah selayaknya bila orang tua dan kaum pendidik bersikap lebih tanggap dalam menjaga dan mendidik anak dan remaja agar ekstra berhati-hati terhadap gejala-gejala sosial, terutama yang berkaitan dengan masalah seksual, yang berlangsung saat ini. Seiring perkembangan yang terjadi sudah saatnya pemberian penerangan dan pengetahuan masalah seksualitas pada anak dan remaja ditingkatkan. Pandangan sebagian besar masyarakat yang menganggap seksualitas merupakan suatu hal yang alamiah, yang nantinya akan diketahui dengan sendirinya setelah mereka menikah sehingga dianggap suatu hal tabu untuk dibicarakan secara terbuka, nampaknya secara perlahan-lahan harus diubah. Sudah saatnya pandangan semacam ini harus diluruskan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan membahayakan bagi anak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa. Remaja yang hamil di luar nikah, aborsi, penyakit kelamin, dll, adalah contoh dari beberapa kenyataan pahit yang sering terjadi pada remaja sebagai akibat pemahaman yang keliru mengenai seksualitas.


Karakteristik Seksual Remaja

Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan. Karakter seksual masing-masing jenis kelamin memiliki spesifikasi yang berbeda hal ini seperti yang pendapat berikut ini : Sexual characteristics are divided into two types. Primary sexual characteristics are directly related to reproduction and include the sex organs (genitalia). Secondary sexual characteristics are attributes other than the sex organs that generally distinguish one sex from the other but are not essential to reproduction, such as the larger breasts characteristic of women and the facial hair and deeper voices characteristic of men (Microsoft Encarta Encyclopedia 2002)
Pendapat tersebut seiring dengan pendapat Hurlock (1991), seorang ahli psikologi perkembangan, yang mengemukakan tanda-tanda kelamin sekunder yang penting pada laki-laki dan perempuan. Menurut Hurlock, pada remaja putra : tumbuh rambut kemaluan, kulit menjadi kasar, otot bertambah besar dan kuat, suara membesar dan lain,lain. Sedangkan pada remaja putri : pinggul melebar, payudara mulai tumbuh, tumbuh rambut kemaluan, mulai mengalami haid, dan lain-lain.
Seiring dengan pertumbuhan primer dan sekunder pada remaja ke arah kematangan yang sempurna, muncul juga hasrat dan dorongan untuk menyalurkan keinginan seksualnya. Hal tersebut merupakan suatu yang wajar karena secara alamiah dorongan seksual ini memang harus terjadi untuk menyalurkan kasih sayang antara dua insan, sebagai fungsi pengembangbiakan dan mempertahankan keturunan. 



Perilaku Seksual

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, ber***bu dan senggama. Obyek seksual dapat berupa orang, baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah laku ini memang tidak memiliki dampak, terutama bila tidak menimbulkan dampak fisik bagi orang yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Tetapi sebagian perilaku seksual (yang dilakukan sebelum waktunya) justru dapat memiliki dampak psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi, marah, dan agresi.
Sementara akibat psikososial yang timbul akibat perilaku seksual antara lain adalah ketegangan mental dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah, misalnya pada kasus remaja yang hamil di luar nikah. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut. Selain itu resiko yang lain adalah terganggunya kesehatan yang bersangkutan, resiko kelainan janin dan tingkat kematian bayi yang tinggi. Disamping itu tingkat putus sekolah remaja hamil juga sangat tinggi, hal ini disebabkan rasa malu remaja dan penolakan sekolah menerima kenyataan adanya murid yang hamil diluar nikah. Masalah ekonomi juga akan membuat permasalahan ini menjadi semakin rumit dan kompleks.
Berbagai perilaku seksual pada remaja yang belum saatnya untuk melakukan hubungan seksual secara wajar antara lain dikenal sebagai :
1. Masturbasi atau onani yaitu suatu kebiasaan buruk berupa manipulasi terhadap alat genital dalam rangka menyalurkan hasrat seksual untuk pemenuhan kenikmatan yang seringkali menimbulkan goncangan pribadi dan emosi.
2. Berpacaran dengan berbagai perilaku seksual yang ringan seperti sentuhan, pegangan tangan sampai pada ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang pada dasarnya adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan dorongan seksual.
3. Berbagai kegiatan yang mengarah pada pemuasan dorongan seksual yang pada dasarnya menunjukan tidak berhasilnya seseorang dalam mengendalikannya atau kegagalan untuk mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan lain yang sebenarnya masih dapat dikerjakan.
Dorongan atau hasrat untuk melakukan hubungan seksual selalu muncul pada remaja, oleh karena itu bila tidak ada penyaluran yang sesuai (menikah) maka harus dilakukan usaha untuk memberi pengertian dan pengetahuan mengenai hal tersebut.
Adapun faktor-faktor yang dianggap berperan dalam munculnya permasalahan seksual pada remaja, menurut Sarlito W. Sarwono (Psikologi Remaja,1994) adalah sebagai berikut :
1. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu
2. Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain)
3. Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut.
4. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media masa yang dengan teknologi yang canggih (cth: VCD, buku stensilan, Photo, majalah, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.
5. Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini.
6. Adanya kecenderungan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita, sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.



Pendidikan Seksual

Menurut Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (1994), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Menurut Singgih, D. Gunarsa, penyampaian materi pendidikan seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak ( dalam Psikologi praktis, anak, remaja dan keluarga, 1991). Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah, mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran dunia pendidikan sangatlah besar.



Tujuan Pendidikan Seksual

Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomis dan biologis juga menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Juga nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral juga.
Menurut Kartono Mohamad pendidikan seksual yang baik mempunyai tujuan membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggungjawab (dalam Diskusi Panel Islam Dan Pendidikan Seks Bagi Remaja, 1991). Beberapa ahli mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi dengan pendidikan etika, pendidikan tentang hubungan antar sesama manusia baik dalam hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat. Juga dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi ingin menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material seseorang. Selain itu pendidikan seksual juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan mendidik anak agar berperilaku yang baik dalam hal seksual, sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan (Tirto Husodo, Seksualitet dalam mengenal dunia remaja, 1987)
Penjabaran tujuan pendidikan seksual dengan lebih lengkap sebagai berikut :
1. Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual pada remaja.
2. Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggungjawab)
3. Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua manifestasi yang bervariasi
4. Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga.
5. Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual.
6. Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya.
7. Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan.
8. Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orang tua, anggota masyarakat.
Jadi tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu suatu yang menjijikan dan kotor. Tetapi lebih sebagai bawaan manusia, yang merupakan anugrah Tuhan dan berfungsi penting untuk kelanggengan kehidupan manusia, dan supaya anak-anak itu bisa belajar menghargai kemampuan seksualnya dan hanya menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu (yang baik) dan pada waktu yang tertentu saja.



Beberapa Kiat

Para ahli berpendapat bahwa pendidik yang terbaik adalah orang tua dari anak itu sendiri. Pendidikan yang diberikan termasuk dalam pendidikan seksual. Dalam membicarakan masalah seksual adalah yang sifatnya sangat pribadi dan membutuhkan suasana yang akrab, terbuka dari hati ke hati antara orang tua dan anak. Hal ini akan lebih mudah diciptakan antara ibu dengan anak perempuannya atau bapak dengan anak laki-lakinya, sekalipun tidak ditutup kemungkinan dapat terwujud bila dilakukan antara ibu dengan anak laki-lakinya atau bapak dengan anak perempuannya. Kemudian usahakan jangan sampai muncul keluhan seperti tidak tahu harus mulai dari mana, kekakuan, kebingungan dan kehabisan bahan pembicaraan.
Dalam memberikan pendidikan seks pada anak jangan ditunggu sampai anak bertanya mengenai seks. Sebaiknya pendidikan seks diberikan dengan terencana, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak. Sebaiknya pada saat anak menjelang remaja dimana proses kematangan baik fisik, maupun mentalnya mulai timbul dan berkembang kearah kedewasaan.
Beberapa hal penting dalam memberikan pendidikan seksual, seperti yang diuraikan oleh Singgih D. Gunarsa (1995) berikut ini, mungkin patut anda perhatikan:
1. Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat ragu-ragu atau malu.
2. Isi uraian yang disampaikan harus obyektif, namun jangan menerangkan yang tidak-tidak, seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi, boleh mempergunakan contoh atau simbol seperti misalnya : proses pembuahan pada tumbuh-tumbuhan, sejauh diperhatikan bahwa uraiannya tetap rasional.
3. Dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan tahap perkembangan anak. Terhadap anak umur 9 atau 10 tahun t belum perlu menerangkan secara lengkap mengenai perilaku atau tindakan dalam hubungan kelamin, karena perkembangan dari seluruh aspek kepribadiannya memang belum mencapai tahap kematangan untuk dapat menyerap uraian yang mendalam mengenai masalah tersebut.
4. Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama buat setiap anak. Dengan pendekatan pribadi maka cara dan isi uraian dapat disesuaikan dengan keadaan khusus anak.
5. Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan melaksanakan pendidikan seksual perlu diulang-ulang (repetitif) selain itu juga perlu untuk mengetahui seberapa jauh sesuatu pengertian baru dapat diserap oleh anak, juga perlu untuk mengingatkan dan memperkuat (reinforcement) apa yang telah diketahui agar benar-benar menjadi bagian dari pengetahuannya.
Saya yakin pasti masih ada cara-cara lain yang dapat anda gunakan dalam mendidik anak remaja anda. Akhir kata saya berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi remaja, orang tua dan pendidik dalam membentuk remaja menjadi generasi penerus bangsa yang memiliki kualitas kehidupan yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan yang lebih berat di masa yang akan datang. (jp)
Oleh: Zainun Mu’tadin, SPsi., MSi.



PEMBAHASAN HASIL

Globalisasi dan kemajuan di bidang komunikasi demikian pesatnya sehingga di satu sisi telah mempercepat kemajuan di banyak sektor pembangunan. Di sisi lain akibat globalisasi dan arus informasi yang bebas mengakibatkan ter-jadinya perubahan perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai yang sudah ada, yang seringkali memberi pengaruh terhadap perilaku seksual pada remaja. Berkaitan dengan kajian ini, yang mengulas tentang faktor-faktor yang mempenga-ruhi sikap terhadap perilaku hubungan seksual pra nikah, meskipun tidak secara langsung me-ngaitkan isu globalisasi dan komunikasi, namun sebagai akibat adanya globalisasi dan kemajuan dibidang komunikasi menimbulkan sikap dan perilaku remaja pada aktifitas seksualnya.

Pendapat atau sikap remaja pada hubungan seksual sebelum menikah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor latar belakang sosial demografi dan pengetahuan tentang ke-sehatan reproduksi. Variabel latar belakang so-sial demografi seperti tempat tinggal, tingkat kesejahteraan, umur, jenis kelamin dan pen-didikan diduga mempengaruhi sikap terhadap perilaku remaja mengenai hubungan seksual se-belum menikah. Akan tetapi variabel sosial de-mografi tersebut tidak langsung dapat mem-pengaruhi sikap remaja terhadap hubungan sek-sual pra nikah, tapi harus melalui variabel an-tara, yakni pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang meliputi pengetahuan tentang masa subur, risiko hamil, alat/cara KB, HIV/ AIDS, PMS, serta pengalaman pacaran, punya teman yang melakukan hubungan seksual pra nikah, dan frekuensi terpapar media televisi. Analisis ini pertama mencoba mengaitkan latar belakang sosial demografi terhadap pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, kemudian dengan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dilihat pendapat atau sikapnya terhadap hu-bungan seksual pra nikah. Sebetulnya dengan adanya sikap terhadap hubungan seksual pra nikah ini akan dianalisis lebih lanjut tentang perilaku hubungan seksual pra nikah, namun karena jumlah sampel yang kecil tidak me-mungkinkan secara statistik. Meskipun de-mikian, dapat diasumsikan bahwa mereka yang setuju pada aktifitas hubungan seksual pra nikah kemungkinan besar akan setuju pula untuk me-lakukan hubungan seksual pra nikah.

Bila dilihat dari pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi, seperti masa subur, risiko kehamilan, HIV/AIDS, PMS, alat/cara KB, pacaran, dan pengalaman seksual di antara teman umumnya seperti telah diduga adalah remaja yang berusia lebih tua (20-24 tahun), remaja tinggal di daerah perkotaan, remaja yang berpen-didikan lebih tinggi (SLTP+), dan umumnya remaja perempuan lebih banyak mengetahui kesehatan reproduksi dibanding remaja pria. Namun untuk remaja pria umumnya lebih banyak tahu tentang penyakit PMS di-banding remaja perempuan. Ada hubungan yang erat antara pengetahuan dengan perilaku tentang kesehatan reproduksi, sebagai contoh pe-ngetahuan tentang HIV/AIDS di antara remaja perempuan dan pria, dimana penge-tahuan perempuan lebih tinggi dibanding pria, maka kejadian HIV/AIDS lebih banyak pada pria. Berdasarkan data terakhir dari Depkes sampai bulan Maret 2002 telah ditemukan kasus HIV/ AIDS sebesar 2.876 kasus, yang terdiri dari 80,55 persen laki-laki dan 19,44 persen perem-puan. Berlainan dengan HIV/AIDS, informasi tentang penyakit menular seksual lain (PMS) atau penyakit kelamin sangat sedikit, remaja yang mendapat informasi tentang PMS dari radio, televisi, dan media cetak, masing-masing kurang dari 10 persen. Kelihatannya masyarakat seolah-olah menutup mata dan enggan mem-bicarakan penyakit ini, kemungkinan hal ini berkaitan dengan penyakit para pekerja seks dan pelanggannya. Namun demikian penyakit ini merupakan masalah sosial yang perlu mendapat perhatian khusus untuk memberi informasi tentang IMS kepada remaja, dan kenyataannya iklan nya terlihat tidak segencar promosi pencegahan HIV/AIDS.

Pengalaman pacaran bagi remaja yang sudah atau pernah pacaran serta pengalaman seksual di antara teman remaja juga banyak dialami remaja yang berusia lebih tua, tinggalnya di daerah per-kotaan, berpendidikan lebih tinggi, dan umum-nya remaja perempuan lebih banyak mengetahui kejadian hubungan seksual pra nikah di antara t-man-temannya dibanding remaja pria.

Persentase yang tinggi dari variabel punya teman yang melakukan hubungan seksual, dalam hal ini harus disikapi secara hati-hati, hasilnya bisa over estimate, karena informasinya di-peroleh secara tidak langsung. Mungkin yang melakukan dalam satu klaster sampel hanya satu orang dan kebetulan orang yang dimaksud dikenal oleh beberapa remaja yang kebetulan menjadi sampel (responden), sehingga jumlah-nya seakan-akan banyak padahal kenyataannya hanya satu orang yang melakukan hubungan seksual pra nikah. Sementara itu, rendahnya remaja melakukan hubungan seksual pra nikah juga perlu diwaspadai, karena metode untuk mendapatkan informasi tersebut yang lemah, sehingga responden remaja cenderung tidak jujur untuk mengung-kapkan yang sebenarnya, dan hal ini bisa di-mengerti karena adat budaya timur yang tabu membicarakan hal tersebut. Sebanyak 5 persen pria dan 1 persen perempuan yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual pra nikah, diperkirakan under estimate karena kelemahan-kelemahan di atas. Demikian pula dengan variabel ”punya teman yang pernah melakukan hubungan seksual dan adanya dorongan atau pengaruh teman yang pernah melakukan hubungan seksual untuk melakukan hubungan seksual pra nikah” tidak dianalisis secara khusus, namun dalam analisis multivariat variabel tersebut perlu dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam analisis. Perlu diketahui bahwa 39 persen perempuan dan 37 persen pria belum kawin umur 15-24 tahun mengaku mempunyai teman yang mempunyai penga-laman hubungan seksual pra nikah.

Ketika remaja pria dan perempuan ditanyakan mengenai sikap mereka terhadap hubungan seksual pra nikah yang dilakukan remaja, umumnya menunjukkan bahwa yang setuju terhadap hubungan seksual pra nikah adalah remaja umur lebih tua, tempat tinggal di perdesaan, berpendidikan lebih rendah, dan berjenis kelamin laki-laki. Selanjutnya kepada remaja juga ditanyakan tentang apakah pernah melakukan hubungan seksual pra nikah, ternyata menunjukkan bahwa kebanyakan yang pernah melakukan hubungan seksual pra nikah adalah remaja berumur lebih tua, berpendidikan lebih tinggi, dan remaja laki-laki. Daerah tempat tinggal (desa atau kota) ternyata tidak mem-pengaruhi remaja melakukan hubungan seksual pra nikah. Dengan melihat kenyataan ini dapat diketahui bahwa adanya perkembangan di bidang komu-nikasi secara global telah pula sampai pada kehidupan remaja kita sampai ke perdesaan. Pa-paran media televisi dan tentunya juga media elektronik yang lain seperti internet serta media cetak turut berkontribusi memberi informasi pada remaja.

Lebih jauh, faktor-faktor apa saja yang mem-pengaruhi sikap remaja terhadap hubungan seksual pra nikah, apa benar bahwa remaja yang pengetahuan kesehatan reproduksinya sudah baik akan melakukan hubungan seksual pra nikah atau ada faktor lain (sosial demografi) yang lebih dominan yang mempengaruhinya. Dengan menggu-nakan data yang terbatas dilakukan analisis multivariat untuk menilai variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap sikap remaja terhadap premarital seksual. Pertama-tama melakukan analisis secara bi-variate terhadap semua variabel yang diduga berpengaruh, apakah masing-masing variabel tersebut berpengaruh secara bermakna tanpa dikontrol oleh variabel lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi pendapat remaja terhadap hubungan seksual pra nikah adalah umur, tempat tinggal, jenis kelamin, pengetahuan masa subur, pengetahuan penyakit menular seksual (PMS), pengalaman punya atau pernah punya pacar, punya teman telah melakukan hubungan seksual, dan do-rongan adanya teman yang pernah melakukan hubungan seksual. Sedangkan variabel tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi seperti risiko hamil apabila melakukan hubungan seksual, alat/cara KB, dan HIV/AIDS, ternyata pengaruhnya terhadap sikap (setuju, tidak setuju) remaja melakukan hubungan seksual sebelum menikah tidak signifikan.

Setelah dilakukan analisis multivariat antara variabel sosial demografi dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dengan sikap terhadap hubungan seksual pra nikah secara bersamaan menunjukkan bahwa hanya variabel jenis kelamin, tempat tinggal, punya teman yang pernah melakukan hubungan seksual pra nikah, dan adanya dorongan karena pengalaman teman, yang berpengaruh pada remaja melakukan hubungan seksual pra nikah. Sedangkan umur dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di antara remaja tidak memperlihatkan penga-ruhnya terhadap hubungan seksual pra nikah. Oleh karena itu, adanya banyak pendapat bahwa mengetahui Kesehatan Reproduksi Remaja akan meningkatkan risiko melakukan perbuatan hubungan seksual pra nikah, ternyata hal ter-sebut tidak tepat. Odds ratio hasil model regresi logistic menunjukkan sebagai berikut:

1.       Remaja laki-laki cenderung 2 kali lebih banyak untuk bersikap setuju remaja melakukan hubungan seksual pra nikah dibanding remaja perempuan.
2.       Remaja yang mempunyai teman pernah melakukan hubungan seksual pra nikah cenderung 3 kali lebih banyak untuk bersikap setuju remaja melakukan hubungan seksual pra nikah daripada remaja yang tidak mempunyai teman yang pernah melakukan hubungan seksual pra nikah.
3.       Remaja yang mempunyai teman pernah melakukan hubungan seksual pra nikah dan mendorongnya untuk melakukan hubungan seksual pra nikah cenderung 1,8 kali lebih banyak untuk bersikap setuju remaja melakukan hubungan seksual pra nikah dari pada remaja yang tidak mempunyai teman pernah melakukan hubungan seksual pra nikah dan mendorongnya untuk melakukan hubungan seksual pra nikah.
4.       Remaja yang tinggal di daerah perdesaan peluang untuk bersikap setuju melakukan hubungan seksual pranikah 0.7 kali lebih banyak dibandingkan dengan remaja yang tinggal diperkotaan. Dengan kata lain bahwa remaja yang tinggal diperkotaan 1.4 kali bersikap setuju untuk melakukan hubungan seksual pra nikah (premarital seksual) dari pada remaja di perdesaan.

Berkaitan dengan temuan di atas dimungkinkan bahwa remaja yang mempunyai pendapat positif tentang melakukan hubungan seksual pra nikah akan melakukan hal yang sama seperti yang pernah dilakukan oleh temannya. Dari beberapa studi tentang seksual remaja didekati dengan cara menanyakan pengalaman seksual pra nikah dari teman remaja, hal ini dilakukan karena per-tanyaan yang langsung tentang perilaku seksual remaja akan sulit diperoleh karena menyangkut masalah yang sensitif. Seperti kita ketahui bahwa sesuai dengan adat timur perilaku seks bebas masih tabu dan akan mendapat tantangan yang kuat dari masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun pada kenyataannya perilaku seks bebas memang sudah terjadi dan akan semakin banyak terjadi karena pengaruh media elektronik dan media cetak yang demikian pesat, sampai pemerintah banyak mengalami kesulitan untuk mencegahnya. Akses internet yang mudah didapat, paparan film-film porno semakin luas, bahan bacaan berupa buku porno juga banyak, yang seringkali orang tua sendiri tidak menge-tahuinya.
Melihat jumlah penduduk usia remaja yang semakin banyak dimasa mendatang, maka per-masalahan remaja tidak akan ada habisnya, ditambah lagi dengan adanya isu globalisasi akan menambah pelik permasalahan remaja. Untuk itu perlu dilakukan berbagai intervensi, karena jika tidak dilakukan intervensi akan muncul banyak permasalahan. Dengan adanya pengaruh dari luar yang semakin deras, terutama informasi yang dapat merugikan kehidupan kesehatan reproduksi, maka remaja akan dihadapkan pada perma-salahan reproduksi tidak sehat, seperti hubungan seksual pra nikah, yang bisa berarti pergantian pasangan, menambah jumlah remaja yang putus sekolah, mening-katnya jumlah kehamilan remaja, serta me-ningkatnya perkawinan pada usia muda.

KESIMPULAN

a.       Dalam analisis bivariat variabel jenis ke-lamin, tempat tinggal, umur, pengetahuan masa subur, pengetahuan tentang penyakit IMS, pengalaman punya pacar, punya teman yang pernah melakukan hubungan seksual, dan dorongan teman yang pernah melakukan hubungan seksual pra nikah berpengaruh secara signifikan terhadap sikap remaja melakukan hubungan seksual pra nikah.
b.       Hasil analisis multivariat dengan model logistic regresi menunjukkan bahwa variabel demografi jenis kelamin, tempat tinggal, punya teman yang telah melakukan hubungan seksual pra nikah, dan adanya do-rongan dari teman yang pernah melakukan hubungan seksual pra nikah merupakan variabel paling berpengaruh secara ber-makna terhadap sikap remaja melakukan hubungan seksual pra nikah.Sedangkan umur, dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ternyata tidak berpengaruh terhadap sikap remaja melakukan hubungan seksual pra nikah.
c.       Remaja laki-laki cenderung 2 kali lebih banyak untuk bersikap setuju terhadap remaja yang melakukan hubungan seksual pra nikah dibanding remaja perempuan. Remaja yang mempunyai teman pernah melakukan hubungan seksual pra nikah cenderung 3 kali lebih banyak untuk ber-sikap setuju terhadap remaja yang me-lakukan hubungan seksual pra nikah dari pada remaja yang tidak mempunyai teman yang pernah melakukan hubungan seksual pra nikah. Remaja yang mempunyai teman pernah melakukan hubungan seksual pra nikah dan mendorongnya untuk mela-kukan hubungan seksual pra nikah cenderung 1,8 kali lebih banyak untuk bersikap setuju terhadap remaja yang melakukan hubungan seksual pra nikah daripada remaja yang tidak mempunyai teman pernah melakukan hubungan seksual pra nikah dan mendo-rongnya untuk melakukan hubungan seksual pra nikah.
d.       Remaja yang tinggal di daerah perdesaan cenderung untuk bersikap setuju melakukan hubungan seksual pranikah 0.7 kali lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang tinggal diperkotaan. Dengan kata lain bahwa remaja yang tinggal diperkotaan 1,4 kali bersikap setuju untuk melakukan premarital seksual daripada remaja di perdesaan.

SARAN

a.       Pengetahuan kesehatan reproduksi remaja, seperti masa subur, risiko kehamilan, dan penyakit IMS, relatif masih rendah, untuk itu perlu pemberian pengetahuan kepada remaja secara merata, baik melalui jalur sekolah maupun luar sekolah.
b.       Remaja laki-laki cenderung 2 kali lebih banyak untuk bersikap setuju terhadap remaja yang melakukan hubungan seksual pra nikah dibanding remaja perempuan, untuk itu perlu KIE secara khusus pada remaja laki-laki tentang kesehatan repro-duksi.
c.       Pengaruh teman yang pernah melakukan hubungan seksual pra nikah dan dorongan dari teman untuk melakukan hubungan seksual pra nikah merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku remaja untuk melakukan hubungan seksual pra nikah, untuk itu perlu dilakukan KIE tentang risiko akibat hubungan seksual yang tidak aman.
d.       Dalam program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang menggunakan pen-dekatan peer group, seleksi terhadap pendidik sebaya perlu ditekankan adanya kriteria bahwa calon-calon pendidik sebaya harus orang-orang yang tidak setuju terhadap hubungan seksual pra nikah dan tidak mendorong temannya untuk melaku-kan hubungan seks pranikah.
e.       Penyebarluasan KIE tentang kesehatan reproduksi (HIV/AIDS, IMS, masa subur, risiko hubungan seksual) agar lebih diperbanyak dan diperluas jangkauannya, terutama melalui media visual dalam bentuk drama/film.
f.        Melibatkan orang tua, guru, pemuka agama, dan peer group untuk berpartisipasi dalam menangani masalah kesehatan reproduksi remaja.
g.       Dalam pelaksanaan program KRR harus didasarkan pada segmentasi sasaran yang dibuat berdasarkan substansi khusus, misalnya untuk remaja laki-laki lebih fokus pada substansi seksualitas.
h.       Perlu adanya upaya untuk meningkatkan jumlah remaja dan orang tua yang men-dapat-kan informasi dan konseling KRR me-lalui PIK-KRR (Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja).
i.         Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) diperluas keberadaannya, minimal 1 PIK-KRR di setiap kecamatan, yang kegiatannya di-lakukan secara aktif di masyarakat.

PUSTAKA

Achmad, S.I. dan S.B. Westley. 1999. Indonesian Survey Looks at Adolescent Reproductive Health. Asia Pacific Population and Policy No. 51. Honolulu, HI, USA: East-West Center.
BKKBN, UNFPA. 2005. Keluarga Berencana, kesehatan Reproduksi, Gender, dan Pembangunan Kependudukan. Buku Sumber untuk Advokasi. Penyunting Iswarati & Rahmadewi. Edisi Revisi 2005. Jakarta, Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS). 1992. Hasil Sensus Penduduk Tahun 1990, Series L2. Jakarta, Indonesia: BPS.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2001. Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000, Series L2.2. Jakarta, Indonesia: BPS.